PENDIDIKAN-Mari kita mulai dengan sebuah cerita yang sudah sering terdengar, bahkan mungkin Anda sudah tak asing lagi. Di tengah maraknya kejar-kejaran mengejar status, prestise, dan jabatan, muncullah sekelompok tokoh yang haus gelar. Mereka ini, dulunya bisa jadi sosok yang sibuk bekerja, banting tulang cari pundi-pundi dan mengabaikan akademik. "Untuk apa gelar? Toh saya bisa berhasil tanpa itu, " mungkin begitu dulu pikir mereka.
Namun, seiring waktu, mereka mulai merasa ada yang kurang. Ternyata, duduk di kursi empuk sebagai pejabat atau sosok terkenal, tanpa gelar akademik, tidak sepenuhnya memuaskan. Mereka mulai merasa gelisah, gelar itu seperti jubah sakti yang harus dimiliki, meskipun hanya sebagai pajangan di dinding atau tambahan di kartu nama. Maka mulailah para bahlul ini berlari-lari kecil dalam perburuan instan menuju gelar impian.
Baca juga:
20 Bintara Otsus Papua Purna Tugas di Brebes
|
Jangan salah, ambisi ini ternyata penuh dengan kreativitas! Dari yang memakai jasa "teman-teman baik" untuk mengerjakan tugas, membeli tugas akhir, hingga mengejar Doctor Honoris Causa abal-abal dari institusi yang entah muncul dari mana. Kalau bisa cepat dan praktis, mengapa harus susah payah, bukan? Di sinilah terlihat bagaimana mereka tidak berjalan sendirian dalam proses ini. Mereka membentuk aliansi strategis dengan oknum akademisi yang seharusnya menjaga nilai-nilai dunia pendidikan. Hasilnya? Lahirlah klub “bahlul kolaboratif, ” dengan bahlul yang satu memuluskan langkah bahlul yang lain.
Mungkin Anda bertanya, “Bagaimana ini bisa terjadi? Mengapa akademisi ikut-ikutan?” Jawabannya mungkin tidak sesederhana yang kita pikirkan, tapi coba bayangkan, adanya kebutuhan finansial atau sekadar ajakan balas budi bisa mengubah prinsip siapa saja. Sementara itu, sang bahlul sudah puas dengan gelarnya dan siap memamerkannya, seakan pencapaian itu adalah hasil kerja kerasnya sendiri.
Efek dari fenomena ini jelas mencemari dunia akademik. Bukan hanya institusi pendidikan yang tercoreng, tapi juga kepercayaan masyarakat pada gelar akademik itu sendiri. Muncul kesan bahwa gelar bisa diperoleh asal ada jalan pintas, sehingga yang tertinggal hanyalah bayangan prestise semu. Bukankah ironis? Dunia akademik yang seharusnya menjadi ladang pencarian ilmu malah dijadikan lahan berburu pengakuan instan, di mana proses yang benar diabaikan demi gelar yang bisa dibeli.
Ah, fenomena ini bukan sekadar masalah gelar, tapi lebih dalam dari itu, ini adalah cerminan wajah manusia yang haus status dan pengakuan. Jika dunia pendidikan tinggi tak segera bertindak, fenomena ini bisa terus tumbuh seperti jamur di musim hujan. Dan, ironisnya, para bahlul ini mungkin akan terus merasa bangga dengan pencapaian yang sebenarnya tak lebih dari sekadar kedok.
Jadi, mari kita renungkan bersama. Agar institusi akademik tetap menjadi tempat belajar yang sesungguhnya, tak terkotori oleh kehadiran gelar-gelar kilat yang diperoleh tanpa perjuangan. Karena sejatinya, gelar tanpa ilmu hanyalah nama kosong yang kehilangan makna—sekadar hiasan bagi para bahlul yang merasa mulia tanpa proses belajar yang sejati.
Jakarta, 31 Oktober 2024
Hidayat Kampai