FIKSI - Di sebuah ruangan berukuran sempit di Penjara Suka Miskin, tiga orang penghuni yang dulunya berjaya, kini berbagi nasib yang sama: seragam oranye, tempat tidur besi, dan secuil kebebasan yang dirampas. Mereka adalah tokoh-tokoh terkenal yang terjerat kasus korupsi, kini duduk melingkar di dalam sel, mencoba mengisi waktu dengan saling bercerita.
Malam itu, Herman, mantan pejabat tinggi yang biasa hidup dengan segala kemewahan, memulai obrolan, “Jadi begini, aku kira semua aman. Uang lancar, proyek berjalan, laporan keuangan selalu bisa diatur. Tapi, kalian tahu apa yang membuatku di sini?” Herman menatap dua temannya dengan sorot mata lelah, “Sebuah tanda tangan sialan. Hanya karena itu, semua skema rapi yang kubangun bertahun-tahun terbongkar. Ternyata, aku tak pernah perhatikan siapa yang kupercayakan. Pas kubaca berita soal kasusku, rasanya seperti ditikam dari belakang.”
Baca juga:
FIB Juara Umum MTQ XV UB Tahun 2022
|
Budi, mantan kepala dinas yang duduk di sebelahnya, tertawa kecil. “Paling tidak, kau masuk karena tanda tangan. Aku?” katanya sambil menggeleng. “Aku jatuh gara-gara anak buahku sendiri! Semua sudah kukemas dengan rapi—proyek fiktif, dana lancar, dan tak ada celah. Sampai suatu hari, anak buah yang paling kupercaya malah melapor ke KPK. Demi potongan hukuman, dia bocorkan semuanya. Sekarang dia bebas, sedangkan aku di sini makan nasi kotak tiap hari.”
Sutrisno, mantan pengusaha yang juga punya cerita sendiri, ikut angkat bicara. “Kalau kalian kira kisah kalian buruk, dengar ini. Aku ditangkap hanya karena satu digit salah ketik. Semua uang sudah kucuci dengan rapi—transaksi ke luar negeri, investasi bodong, segalanya tak terlacak. Sampai seorang staf akuntansi salah masukkan angka. Satu digit itu yang membuat semua rekayasa keuanganku ketahuan.” Sutrisno menghela napas panjang, “Kupikir, teknologi bisa selalu dikendalikan. Ternyata tidak dengan kebodohan manusia.”
Baca juga:
Tanamkan Disiplin, Babinsa Latih PBB
|
Ketiganya tertawa pelan, penuh ironi. Di balik tawa mereka, tersimpan penyesalan yang dalam. Masing-masing dari mereka adalah orang yang pernah berdiri di puncak kekuasaan, memegang kendali atas jutaan orang, namun kini nasib membawa mereka duduk di sel yang sama, meratapi nasib yang sama-sama naas.
Herman yang tak bisa menahan diri akhirnya berseloroh, “Eh, tapi di sini kita tidak perlu bayar listrik, tidak perlu pikirkan pajak, dan makanan datang tepat waktu, meski rasanya entah di mana.”
Budi dan Sutrisno tertawa lebih keras kali ini. “Betul juga, ” sahut Budi sambil menepuk bahu Herman, “Mungkin ini hukuman terbaik, tak ada lagi yang perlu kita pusingkan selain menghitung hari.”
Sutrisno mengangguk setuju. “Yah, setidaknya di sini kita bisa lebih tenang, tanpa gangguan telepon dari istri atau laporan pajak yang belum beres.”
Obrolan mereka berlanjut, penuh dengan tawa getir yang tak pernah mereka bayangkan akan terjadi dalam hidup mereka. Mereka yang dulu selalu punya jawaban untuk setiap masalah, kini hanya bisa menertawakan diri mereka sendiri di sudut gelap penjara Suka Miskin.
Malam semakin larut, dan perlahan tawa mereka mulai mereda, digantikan dengan keheningan panjang yang membawa mereka pada kenyataan pahit: di balik tembok penjara, dunia masih berputar, tapi mereka hanya bisa duduk diam, menunggu waktu membawa tawa terakhir. (Hendri Kampai)